Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Selasa, 11 September 2018

Narasi Jiwa: Lanjutan


Ku raih handphone-ku di saku jaketku sembari menunggu nasi goreng yang sudah ku pesan. Ternyata isinya adalah pesan WhatsApp dari temanku bernama Ghani. Dia pula merupakan teman lamaku sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekarang dia sedang mengambil keterampilan dalam berwirausaha di salah satu universitas ternama di Kota ini.

"Assalamualaykum.."
"Mang, kumaha proyek teh, jadi?"
(Mang, bagaimana proyeknya, dilanjutkan?)

Aku baru ingat bagianku adalah menyusun proposal bisnis yang akan kami bangun. Aku sangat berambisi dalam hal ini - berbisnis. Pasalnya aku ingin membuktikan bualan para motivator dan dosen entrepreneur-ku bahwa untuk berbisnis kita tak harus memiliki garis keturunan pebisnis pula. Setidaknya sesimpel itu motivasiku dalam berbisnis, masalah kaya apa tidak dan segala resikonya, aku kira itu bumbunya saja. Disamping itu, berbisnis juga aku harap menjadi investasi-ku di masa depan, bukan cuma harta tapi jaminan kesejahteraan keluargaku kelak, bukankah kita semua setuju bahwa bahagia tak selalu harus dengan uang, tapi dengan uang kita bisa bahagia? Ah tak penting semua teori itu.

Lantas aku balas dan mengakui bahwa aku belum sempat membuka kembali proposal itu, jangankan untuk membuka proposal, sementara aku sibuk dengan urusan perutku yang belum terisi.

"Belum Pak, insyaAllah sekarang lah, ini juga sedang mengisi BBM, Bahan Bakar Mikir..hehe"

Akhirnya nasi goreng siap ku santap, di tengah kota Bandung yang katanya menjadi kota yang paling berkesan bagi siapapun yang datang dan hidup didalamnya, ditambah dengan udara dingin yang menyejukkan, lengkaplah menjadi lauk pauk nasi gorengku.

Sembari makan, sesekali aku berfikir tentang Nina, sudah lama ku kenal dia, lebih dari cantik, ia menarik. Setidaknya untuk ukuran lelaki sepertiku-yang apa adanya, alasan apa lagi yang membuat aku tak bersyukur dekat dengan wanita seperti dia. Sempat terlintas di fikiranku untuk menujukan semua ini ke muara pernikahan yang akan terasa lebih indah, yang tak semua orang nekad untuk mengusahakannya. Memang, menghayal biasanya lebih indah daripada menjalani realita.

Setelah aku kembali ke kosanku, aku berjanji untuk melanjutkan proposal bisnisku karena Ghani bilang proposal ini harus sudah matang sampai akhir bulan ini. Tapi aku lupa, belum membalas pesan dari Nina;

"Kang?"

Nina adalah adik, partner, couple yang baik, sikap dan perilakunya yang membuat dia unik dan menjadi daya tarik sendiri, biasanya aku sebut wanita model ini adalah wanita yang menarik. Sudah mestinya lelaki mengganti standarnya dalam mencari wanita, bukan karena cantiknya, keluarganya apalagi hartanya tetapi dengan perilaku dan sikapnya, bagaimana ia bertutur, menghadapi situasi, berhubungan dengan lingkungan, karena pada akhirnya, kelak, ketika engkau menikah, ketenangan itulah yang akan membuatmu lepas dari penatnya dunia dan pindah ke alam surga yang terangkum dalam elok dan anggunnya sifat perempuan. Sebaliknya, perempuan mesti memiliki keanggunan dan keelokan bukan hanya manisnya wajah, piawainya bersolek dan pintarnya berpakaian, tetapi yang langka adalah perempuan yang elok dalam bertutur, indah dalam bersikap dan piawai dalam menjaga kekurangan lelakinya. Jadilah! Maka Jadilah.

"Ko dibaca aja?"
"Lagi sibuk ya?"
"Yasudah, maaf Nina ganggu ya! Nanti aku hubungi lagi"

tertera ia mengirimkan pesan pada pukul 19.54 sampai 19.56, dan satu jam kemudian aku baru membuka pesan yang ia kirim. Aduh, jangan-jangan dia kesal karena pesan terakhirnya tak berbalas dan pesannya baru aku buka.

"Iya, duh maaf ya tadi habis nyari makan. Kamu belum tidur?"

Sampai beberapa jam aku lihat kembali handphoneku, tak ada tanda-tanda balasan dari Nina. Malah grup kelas dan organisasi yang banyak mengirim pesan-pesan spam. Ada yang penting, tapi tak ada yang lebih aku tunggu selain balasan dari Nina. Hari-hariku sangat penat, tak ada teman berdialog yang satu frekuensi denganku, tak heran mengapa aku selalu menunggu Nina untuk membalas pesanku, lebih dari sekedar berkomunikasi, tapi setidaknya dengan hal itu, hariku tergenapi dengan sempurna.

Tak biasanya Nina membiarkan pesanku lama-lama, karena aku tahu Nina pun melakukan hal yang sama denganku, menunggu dan lekas memberi jawaban dari setiap pesan yang aku kirim. Kemudian aku cek profilnya, tertera akun masih Online dan aktif beberapa detik yang lalu.

"Nina?"
"Halo.."

Tak biasanya Nina seperti itu.
Ada apa dengan Nina?