Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Kamis, 10 Oktober 2019

POV: Film Joker, Film Sakit!


Ramai dibicarakan belakangan ini oleh berbagai kalangan tentang film yang merupakan kisah hidup dari salah satu super villain dari komik DC, Joker. Film yang berdurasi 120 menit lebih itu membuat beberapa kalangan tertarik untuk menyaksikannya. Pasalnya JOKER adalah salah satu musuh bebuyutan Super Hero Batman, muncul dalam trilogi film BATMAN diantaranya; Begins, Dark Night dan Dark Night Rises. Tentunya dengan pelakon karakter JOKER yang berbeda-beda, namun tetap dengan sensasi yang sama. Film yang bergenre psycho-thriller -- kalau boleh dibilang begitu, menceritakan tentang bagaimana sosok Joker bisa hadir.
Sebetulnya tulisan ini segmented dan spoiler, hanya berupa opini penulis yang berdasar dari beberapa pembahasan dari berbagai sudut pandang, penulis sebelumnya sudah menyaksikan film ini. Uniknya, Film Joker ini memang Film tersendiri yang terlepas dari DC Universe, lebih kepada megumpulkan beberapa material Joker dari film-film yang lain.
JOKER (2019). Joaquin Phoenix (images.google.co.id)


***
Film ini menceritakan bagaimana karakter Joker itu muncul, dibuka dengan scene Arthur Fleck yang diperankan oleh Joaquin Phoenix sedang merias wajahnya as a clown, diceritakan sebagai seorang komedian atau badut panggilan. Dilanjutkan dengan event-event yang runut, mengakumulasi betapa kejamnya kehidupan sosial di Kota  Gotham, hingga akhirnya kita menyadari bahwa Arthur Fleck perlahan berubah menjadi pribadi yang keji dan tanpa ampunan dikarenakan kondisi sosial waktu itu. Arthur yang memiliki riwayat mental illness tidak mendapatkan perhatian khusus dari lingkungannya, bahkan lingkungannya cenderung mendukung Arthur untuk memutuskan mau segila apa dia.
Dengan latar waktu sekitar tahun 1980an ditambah penggambaran Kota Gotham yang benar-benar bobrok pemerintahannya, lingkungannya, kehidupan masyarakatnya, tentu mempengaruhi Arthur sebagai karakter utama yang pesakitan. Tak heran, yang pertama kali disalahkan oleh pemirsa adalah pemerintah Kota Gotham. Itu bisa jadi benar. Pemerintah tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya dikarenakan carut marutnya tata kelola pemerintahan. Semudah itukah Joker lahir? Nyatanya tidak!
Kembali lagi pada masalah kehidupan pribadi Arthur Fleck. Beliau memiliki mental illness berupa skizofrenia. Dimana seseorang akan dengan mudah memproyeksikan dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya. Hal itu terbukti karena Arthur harus meminum 7 obat yang berbeda untuk meredam sakitnya itu. Tentu bukan hal yang mudah dilalui oleh seorang Arthur yang hidup bergantung dengan obat tersebut. Terlebih saat tempat konsultasi kejiwaannya harus ditutup karena Pemerintah Gotham mengurangi subsidi untuk program pembinaan kesehatan mental. Hancur lah Arthur!
Arthur malah mendapatkan bertubi-tubi bad events, sampai pada puncaknya ia mengetahui Ibunya yang bernama Peny Fleck, sering mengirim surat pada seorang bernama Thomas Wayne yang diakuinya sebagai ayah dari Arthur. Thomas Wayne adalah seorang pejabat-calon Wali Kota Gotham. Sontak Arthur bersikeras untuk menemui ‘Ayahnya’ tersebut. Bukannya menjadi angin segar, Wayne memberi tahu bahwa Ibu Arthur adalah seorang peskitan yang memiliki penyakit narsistik dan pernah dirawat di Arkham (Rumah Sakit Jiwa) dan ia hanyalah seorang anak adopsi. Arthur berubah menjadi seorang yang keji karena ia membenci semua orang, ia terakumulasi oleh rasa sakit yang diberikan oleh dunia. Hingga satu saat ia melakukan self-proclaim sebagai Joker dimana komedinya tak pernah memiliki punchline.

***
Dari sedikit bocoran diatas, jika boleh penulis beropini. Arthur bertransformasi menjadi seorang Joker bukan karena ia adalah seorang baik yang kebaikannya tidak dihargai. Arthur adalah orang yang berubah karena akumulasi rasa sakit yang ia rasakan, entah ia memang baik atau tidak pada mulanya. Kelirunya, ia tidak mendapat perhatian khusus dari lingkungannya. Maka tiada tuntunan bagi Arthur untuk memutuskan mau jadi apa dia. Apakah ia memutuskan untuk menjadi bajingan keji untuk membalaskan rasa sakit kepada lingkungannya? Orang-orang yang menyakitinya? Atau memilih menjadi orang yang lebih bersabar untuk membalas rasa sakitnya?. Sayangnya Arthur memilih jalan untuk menjadi seorang brutal yang tanpa ampun akan melibas apa yang buruk dalam pandangannya. Pun demikian, kita bisa saja menganggapnya benar atau salah. Benar, karena Arthur adalah produk kegagalan lingkungan sosial. Salah, karena kita tentu memposisikan sebagai orang baik yang tidak mau main hakim sendiri.
Jangan lupa, karakter Arthur menjadi Joker tidak terlepas dari Penny Fleck si Ibu angkatnya yang ternyata sering melakukan tindak kekerasan kepada Arthur semasa kecil. Meskipun demikian, awalnya Arthur hanya merasa ada brain damage pada dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia kontrol dengan sadar. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa tidak ada yang dapat dipercaya di sekitarnya.
Ada hubungannya nih sama si Batman. Anak Thomas Wayne yang bernama Bruce Wayne ini yang kemudian akan menjadi Super Hero di Gotham sama-sama memiliki masalalu kelam. Bruce yang juga dibentuk dan dibesarkan oleh trauma nantinya memiliki sifat yang sebetulnya mirip dengan Joker. Mereka sama-sama brutal, main hakim sendiri, tanpa ampun dan mencoba meluapkan kesakitannya. Bedanya, Joker memang hadir karena rasa sakit yang terakumulasi hingga ia memutuskan untuk berada di pihak “gila” untuk menentang apa yang salah di matanya. Sementra Batman lahir karena trauma atas apa yang dilakukan Joker, ia memutuskan untuk menumpas macam-macam kriminal di Gotham tentu dengan “caranya sendiri”. Kegilaan Joker hanya bisa diimbangi oleh Batman, Joker selalu menganggap Batman adalah cerminan dirinya. Pun sebaliknya, penjahat kelas kakap sekalipun mudah bagi Batman, terkecuali Joker. Tapi bisa dibilang, Penny Fleck membentuk karakrer Joker, kemudian Joker membentuk karakter Batman. Bisa jadi kita menemukan benih sifat Joker diantara kita. Orang yang mendapat rasa sakit bertubi-tubi, kurang dihargai, akhirnya tiada tuntunan dalam memutuskan untuk baik atau tidak.

***
Kesan penulis menonton film ini tak luput dari rasa ngeri melihat fenomena yang mungkin itu ada diantara kita. Film dibungkus apik, digarap dengan ‘ilmu’nya, seolah membawa pemirsa untuk merecall dan menimbang-nimbang bahwa kita semua memiliki rasa sakit sama seperti Joker, kita sah-sah saja untuk kemudian menjadi si Joker. Kita akan tenggelam untuk merasakan betapa painful nya si Arthur dan mulai mencari pembenaran atas diri kita sendiri untuk diakui dengan cara yang tak semestinya. Untuk itu, imbauannya, film ini rasanya kurang cocok untuk anak dibawah 18 tahun, bahkan yang sudah dewasa pun diusahakan untuk terus berdiskusi dan cepat menimpa memorinya dengan menonton film lain. Terlebih, makin hari makin banyak sudut pandang tentang fim ini.

***
Terima kasih sudah membaca sejauh ini, semoga menambah informasi atau bahkan bahan diskusi dengan teman ngopi, teman nongki dan teman sampai mati. Hehe. Kritik dan saran membangun sangat diharapkan.