Semakin penasaran,
Nina aku telfon, namun nyatanya ia sedang melakukan panggilan suara kepada
nomor yang lain. Mungkin, ia sedang menungguku dengan melakukan panggilan
dengan temannya, laki-laki atau perempuan? Ah itu sudah tak ku pikirkan lagi.
Aku sangat percaya bahwa Nina selalu membicarakan segala sesuatunya padaku,
sekalipun akan menerima panggilan dengan laki-laki, toh aku juga bukan
pencemburu yang keterlaluan. Bagiku, cemburu itu hal yang sangat wajar dan
mengekspresikannya pun tak ada seorangpun yang punya ukuran untuk menghakimi
bahwa ini berlebihan dan itu keterlaluan. Semuanya relative, tergantung
bagaimana kita mengkomunikasikannya. Justru menurutku, bersikap biasa saja dan
acuh merupakan hal yang tak wajar dalam sebuah komitmen, aku pikir, dengan
bersikap acuh mungkin saja tidak ada narasi yang sampai ke dalam komitmen yang
sedang dijalin.
Tak lama kemudian, ia
mengetik pesan kepadaku
“Kang, maaf tadi aku
ditelfon temanku. Katanya besok sudah mulai dibuka pendaftaran di Universitas
Reformasi..”
“Oh begitu ya, gak
apa-apa, akang hanya pastiin aja kamu gak ketiduran..”
“Ngga kang, masih
nugas?”
“Masih nih, tapi bukan
tugas kampus, tugas masa depan..hehe”
“Maksud akang?”
“begini, akang kan
sedang nyusun proposal bisnis, ya buat investasi masa depan. Modal juga buat
nikahin anak orang..” aku mengetik pesan itu sembari tersenyum.
“Ah akang bisa aja..”
dia menambahkan emot tersenyum
“Yasudah kang,
lanjutin aja bikin proposalnya, aku takut ganggu..”
“Ngga kok, tapi sambil
temenin aja ya..”
Aku pun larut dalam
pekerjaanku hingga waktu tak terasa menunjukkan pukul 01.45 dinihari. Aku cek
lagi handphone ku, pesanku sudah tak berbalas semenjak pukul 10.30 tadi.
Sebetulnya isi percakapan kami bukan hanya kiriman kata atau bunyi semata.
Lebihnya itu adalah suatu bentuk ungkapan rasa, betapa inginnya kami
bercengkrama. Sayang, jarak saat ini membekukan pertemuan yang semestinya
mencairkan segala penatku. Bukannya tak ingin, tapi aku menahannya sampai waktu
yang tepat itu datang, siapa yang tahu? Yang sudah-sudah pun, kami memiliki
waktu, kami merencanakan bertemu, tapi apadaya, tuhan belum jua memberi momen.
Sebetulnya, aku adalah
tipe lelaki yang selalu berfikir satu langkah ke depan dari apa yang aku
perkirakan esok. Maksudku, bila kebanyakan orang menyaratkan bahwa hubungan itu
harus saling bertemu, bermain, menghabiskan waktu dan lain sebagainya, namun
aku beda, aku serap saja dari inti pertemuan dan bermain itu, tak lain untuk
berkomunikasi dan untuk saat ini, aku menikmati komunikasiku meskipun harus
melalui media pesan elektronik. Terlebih, semakin lama aku mengenalnya, semakin
bulat aku mempersiapkan diri untuk bekalku di masa depan, selalu terngiang di
kepalaku, apa mungkin kau menikahi dia dan tak mampu membahagiakannya? Apakah
dengan komitmen? Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar