Adzan yang melengking
indah telah membangunkanku tepat pada pukul 04.26. Aku sudah terbiasa membuka
handphone ku terlebih dahulu, setidaknya selama aku berada di kosan, handphone
adalah satu-satunya jendela agar aku senantiasa bisa membuka jendela dunia,
hanya sekedar melihat Instagram atau platform lain pun itu sudah menjadi
hiburan untukku.
Semalam ku tinggal,
Ghani mengirim pesan padaku pada malam harinya:
“Yo, besok bisa ‘kan
lo pergi ke CafĂ© Semio yang di Jalan Tegalega. Ada yang mau dibicarain..”
Tak biasanya Ghani
menyengaja membuat jadwal pertemuan, padahal hari itu jam kuliah ku penuh dan
yang paling penting, hari itu ada jadwal praktikum analisis pangan yang sulit
untuk aku tinggalkan. Kalau saja aku meminta izin, sudah pasti aku tak bisa mengikuti
jadwal praktikum selanjutnya.
Kadang aku bingung,
sebetulnya dulu aku sangat ingin menjadi seniman, ya setidaknya jadi Epy
Kusnandar yang piawai memainkan karakter Muslihat di salah satu sinetron seri
yang melekat di hati para pemirsa terutama lakonnya itu menjadi sangat kental
sampai terbawa suasana bahwa di kota ini ada seorang Muslihat di kehidupan
nyata. Namun takdir berkata lain, impianku menjadi seniman harus kandas karena
sudah beberapa kali dan beberapa jalur tes memasuki universitas yang menawarkan
program studi kesenian aku gagal di dalamnya. Padahal, akting ku tak begitu
buruk, setidaknya sampai tahun ke 3 ini aku berada dalam topeng dan harus
menjadi orang yang lain di kampus, karena aku kuliah di jurusan hasil industri
pertanian yang sama sekali tak pernah ku duga akan menjalani hal ini.
Berat memang harus
hidup di jalan yang tak semestinya, tersesat dalam gua yang gelap gulita,
berusaha mencari secerca bahan untuk sekedar menerangi jalan untuk keluar dari
gua tersebut. Tergopoh-gopoh mencari tumpuan untuk melanjutkan tujuan, tapi
semua itu tak mungkin jua aku hentikan.
Seketika aku harus
mengubah jadwal kegiatanku sebelum deal dengan Ghani.
“Siap gan, ba’da ashar
urang berangkat..”
Di sela waktu
praktikum, Dian teman satu kelasku yang juga teman SMA menanyakan tentang
hubunganku dengan Nina.
“Yo, lu masih hubungan
sama Nina?”
“Masih lah, kenapa?”
“Tapi gue liat lo
santai aja, gue kira udah engga..”
“Ya berarti bagus
dong, berarti gue ga ada masalah sama Nina. Ya udah habislah masa-masa gue buat
lebay, upload foto, snapgram bareng, yang kayak gitu. Males gue..”
Percakapan kami
berlanjut ngaler ngidul (kesana kemari) hingga kami harus menyelesaikan
praktikum analisis pangan untuk menghitung nilai karbohidrat yang terdapat pada
nasi. Aku jadi teringat, ada proses gelatinisasi pada nasi, yakni pembengkakan
granula pati yang dipengaruhi oleh air dan suhu. Singkatnya, inilah teori yang
menjelaskan mengapa beras yang dinanak, diberi air dan suhu yang panas akan
berubah menjadi nasi. Mungkin ini pula yang mesti aku pahami, mengapa aku
secara terpaksa harus menelan takdir menjadi seorang ahli pangan. Bisa saja,
aku yang dulunya tak sama sekali menyukai pelajaran macam kimia, pertanian dan
semisalnya yang aku ibaratkan itu adalah beras, tapi terus dijejali oleh
ilmu-ilmu tersebut yang ibaratkan air, juga dipanaskan oleh suhu yang berarti
aku terus ditempa oleh berbagai keputus asaan. Bisa saja nanti aku menjadi
produk hasil yakni nasi, yang bisa bermanfaat banyak bagi yang lainnya. Namun,
sejauh ini aku belum sampai ke puncak ilmu tersebut, ibarat menaiki gunung,
mungkin aku baru sampai ke pos 2 atau 3, jadi aku hanya terfokus pada terjalnya
jalan menuju puncak, merasa lelah dan hampa dan ada 4 pos lagi untuk sampai
puncak agar aku bisa melihat keindahannya. Sayangnya, aku merasa tersesat dan
masih banyak pertanyaan, mengapa aku harus menaiki gunung yang ini? Sementara
ada gunung lain yang aku idamkan untuk ku taklukkan. Mengapa?
Aku tak pernah
mengerti mengapa Tuhan selalu menentukan hal yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya, apakah ini membuktikan firmanNya; bisa jadi yang kau sukai, itu
buruk bagimu dan bisa jadi yang kau benci itu baik bagimu. Pada akhir ayat
ditegaskan bahwa Tuhanlah yang mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Sejauh
ini, firman itulah yang selalu menjadi peganganku, setidaknya untuk tetap
tersesat di jalan yang lurus. Mungkinkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar