Sebuah keberuntungan,
aku memiliki teman yang sedang fokus menjalani keterampilannya dalam
berwirausaha, setidaknya aku bisa menggali ilmu darinya. Meskipun demikian, aku
tidak pernah mendapatkan dukungan yang serius dari keluargaku untuk menentukan
pilihan untuk menjadi seorang pebisnis. Tapi aku yakin, jalan yang sedang aku
ikhtiari ini adalah jalan yang lurus.
Akupun akhirnya
bertemu dengan Ghani dan kami membicarakan tentang bisnis yang sedang kami
bangun, sebuah kedai wedang yang menjadi target kami, mengingat competitor yang
masih minim di kota ini, dan aku melihat ada peluang besar di bisnis ini.
“Kita masih
kebingungan untuk cari starting fund” ungkap Ghani.
“Kemarin, gue udah
ketemu beberapa senior kita di SMA yang sudah jadi pengusaha sukses. Tapi
hasilnya sampai saat ini belum ada respon yang baik..” aku menjawab.
“Sebetulnya kita perlu
dana lebih dari 30 juta untuk mempersiapkan segalanya, kacaunya kita belum
dapat sepeserpun uang untuk memulai ini semua..”
Aku pun memutar
balikkan otak, berusaha mencari jalan keluar dari masalah finansial ini. Memang
sial!
Sempat terlintas di
fikiranku untuk menjual beberapa alat musikku yang pernah aku beli demi
memenuhi hobiku. Namun, pantaskah aku menggadaikan passion-ku dengan hal
yang belum tentu akan menjadi passion-ku. Terlebih yang selalu ku
pikirkan adalah masalah tentang untung dan rugi. Berat memang, tapi resiko
mesti diambil ketimbang kita terus berdiam dalam ketidakpastian, pasalnya aku
harus mengorbankan yang aku cintai. Aku pikir mengambil resiko lebih baik
ketimbang aman dalam zona yang begitu-begitu saja. Sebagai seorang lelaki, aku
harus mempunyai prinsip dan idealisme yang kuat yang nantinya hal inilah yang
akan membangun mentalitaku.
“Mengorbankan yang
dicintai bukan hanya sekedar melepaskannya, lebih jauhnya yakni merelakan
hal-hal yang penting untuk pergi. Percayalah, tidak ada yang lebih sulit
daripada memulai dan tidak ada yang lebih manis daripada memetik hasil.
Pertanyaan terbesarnya, apakah aku siap dengan segala konsekuensi ini? Melepaskan?
Apa yang mesti aku lepaskan?”
aku sejenak merenung.
Tak terasa, sayup
adzan di tengah kota itu sudah mengetuk-ngetuk telingaku dan Ghani. Tak ingin
melewatkan panggilan ilahi, kami pun bergegas untuk pergi ke mushala dekat café
itu. Sungguh, tiada yang lebih segar daripada basuhan air wudhu, tak heran
mengapa orang yang mampu menjaga wudhu-nya mampu menjaga segala aktifitasnya. Tak
pernah berkata yang bukan semestinya dikatakan, karena mulutnya terbasuh. Tak pernah
menoleh kepada hal yang bukan semestinya ditoleh, karena wajahnya terbasuh. Tak
pernah bertindak melebihi batasan agama, karena tangannya terbasuh. Tak pernah
mendengar apa yang tak semestinya didengar, karena telinganya terbasuh. Tak pernah
melangkah kepada apa yang dilarang oleh agama, karena kakinya terbasuh.
Usai shalat, aku dan Ghani
lekas kembali ke meja tempat kami berbincang, sengaja aku titipkan karena percakapan
belum usai. Sembahyang benar-benar melenturkan kami, bukan hanya sendi yang
kaku karena lelahnya mengusahakan dunia, tapi jiwa dan raga yang kering karena
habis merasakan pahit dan getirnya dunia. Sebagai teman SMA, kami sedikit
mengarahkan pembicaraan hanya sekedar untuk bernostalgia. Aku ingat, waktu itu
aku pernah di panggil ke ruang konseling karena aku pernah melakukan kenakalan
remaja. Aku ketahuan bolos sekolah dan memilih untuk mengikuti parade musik
band di salah satu event bergengsi, karena kecintaanku terhadap seni apapun itu, seni olah ekspresi dan olah nada. Aku dan beberapa temanku yang waktu itu memiliki
pilihan yang sama, yakni bermusik, memutuskan untuk mengikuti parade musik itu,
keren memang, apalagi dengan genre metal dan disitu kami adalah peserta
paling muda. Masih ingat, list lagu yang aku bawakan adalah lagu Asking
Alexandria yang berjudul I Won’t Give In dan Someone Somewhere. Kedua
lagu tersebut sangat menggambarkan isi hati kami, I Won’t Give In menggambarkan
sisi kerja keras kami, seolah tak ingin tertandingi dan terus melejit. Sementara
Someone Somewhere adalah lagu yang menggambarkan sisi lembut dari kami,
sejauh apapun kami manggung, senakal apapun kami, tapi kami selalu ingat
bahwa ada seseorang di suatu tempat yang selalu menunggu kabar baik dari kami,
selalu mengkhawatirkan kami, ya, itulah orangtua kami. Penjiwaan lagu kami
dapatkan karena kami bernyanyi untuk membunyikan isi hati, bukan hanya sekedar
teriak-teriak seperti keranjingan. Setidaknya hari itu adalah hari bersejarah
bagi kami, akhirnya kami dinobatkan sebagai band dengan penampilan panggung favorit
meskipun di sekolah, kami malah dinobatkan sebagai sekelompok anak nakal yang
bolos demi mengejar impian dan cita-cita.
Aku selalu aneh,
mengapa hal macam ini terjadi. Bukankah kita sepakat bahwa pendidikan itu mestinya
mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak? Itulah yang membuat anak-anak
betah untuk menekuni pembelajaran, karena mereka menjalani apa yang mereka
cintai dan fokus kepadanya. Justru dengan memaksanya dengan hal yang tak mereka
cintai, anak-anak akan mencari seribu cara untuk menghindarinya. Kami lah
buktinya. Sudahlah, terlalu banyak aku berkata, toh aku bukan sarjana
pendidikan ini, hanya calon sarjana pendidikan yang sudah lulus sebelum diterima kuliah.
Dari kejadian itu, aku
mendapatkan beberapa stereotip dari lingkunganku. Guru-guru yang memandangku
sebagai anak yang tak taat aturan, dan teman-teman yang sudah menanamkan hal
yang sama kepadaku, tepatnya kepada kami. Namun beruntungnya aku memiliki Wali
Kelas yang sangat mengerti, namanya Pak Dedy, beliau tak keheranan sedikitpun
dan tak menampakkan kekecewaannya kepadaku.
“Bapak tahu siapa
kamu, di kelas, di luar kelas. Tak apa nak, itu yang lebih kamu butuhkan, pengalaman
itu yang kamu butuhkan. Apa yang kamu lakukan sudah benar, tapi tidak baik
dalam pandangan sekolah. Lazimnya, kamu selesaikan dulu kewajibanmu sebagai
pelajar, selebihnya kamu adalah apa yang kamu mau, musisi kah, seniman kah,
bahkan lebih dari itu. Belajarlah adil pada dirimu sendiri, dalam konsep menempatkan
sesuatu pada tempatnya..” dengan santai Pak Dedy berkata demikian.
Diksi yang berat untuk
dibincangkan padaku, tapi aku mudah memahami kemana percakapan ini bermaksud.
Pak Dedy memang bukan sekedar Wali Kelas, ia adalah orangtua bergaya teman.
Ditengah perbincanganku
dengan Ghani, handphoneku bergetar. Tenyata ada 3 pesan dari Nina yang belum
aku baca. Aku lihat di pop-up Nina mengirim pesan dengan sangat panjang
dan terdapat kata “Maafin aku ya kang..”
Perasaanku sudah mulai
tak enak. Kira-kira Nina mengirim pesan apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar