“Maafin aku ya
kang, selama ini suka ganggu akang, aktivitas akang dan lainnya. Aku cuma ingin
tau kegiatan akang. Kita sekarang udah jauh secara jarak dan udah beda dunia.
Aku harap akang bisa mengerti maksud pesan aku..”
“Bukannya apa-apa,
wajar kan aku khawatir, atau berfikir aneh karena akang belakangan ini beda?”
“Maafin aku ya
kang, kalau aku sekiranya ganggu akang. Kapan aja akang baca, akang boleh
bales..”
Aku pun terdiam
sejenak, seolah merasa bersalah karena telah mengejar ambisiku dan mengorbankan
orang yang selama ini aku sayang. Apakah aku salah? Dalam kasus ini mutlak aku
yang salah, aku terlalu dibutakan oleh ambisiku sehingga sisi realitasku tak
terimbangi. Masih banyak orang di sekitarku yang mungkin akan selalu ada
ketimbang ambisiku yang sewaktu-waktu bisa padam dan pasti akan padam.
Lelaki mana yang tak
meleleh hatinya diberi pesan seperti itu, lebih dari seorang partner, Nina
selalu membiusku dengan sikap dan sifatnya. Tak mengelu-elu, tapi kenyataannya
memang begitu. Kata-katanya yang tak pernah sedikitpun menggores perasaanku,
tuturnya yang lembut selalu memadamkan api kegelisahanku membuat aku jatuh
sangat dalam bukan padanya, tapi pada sifat dan sikapnya yang lebih anggun dari
sekedar penilaian fisik.
“Tak apa Nina,
harusnya akang yang minta maaf. Akang terlalu memikirkan obsesi hingga lupa
segalanya. Baiknya kita bertemu mumpung kamu sedang di Bandung, ya kan?”
“Iya kang, besok akang
kosong jam berapa?”
Kami merencanakan
untuk bertemu dan saling menukar rindu. Maka perbincangan dengan Ghani pun aku
sudahi karena letih sudah memaksa kami untuk melihat ternyata waktu sudah
menunjukkan larut malam.
Esoknya, di Daerah
Asia Afrika kami bertemu. Sungguh pertemuan yang sangat aku nanti, tak sabar
aku melepaskan bebanku dengan melihat senyumnya. Tak sabar aku mencairkan
penatku dengan mendengar suaranya. Tak sabar aku melempar rindu yang sudah lama
tak berujung.
Dari kejauhan sudah ku
lihat sosok wanita dengan hijab hitam, rapi dengan jalan yang sangat anggun.
Menundukkan mukanya karena ia seorang pemalu. Mendekati dan menyapaku. Serasa
waktu berhenti saat dia tersenyum kepadaku, senyum sangat aku nanti dan aku rindukan.
“Assalamualaykum
kang..”
Entah bagaimana perasaanku disapa demikian.
“Alaykumussalam.
Nina..”
“Kang, gimana
kabarnya? Udah lama banget gak ketemu yah..” senyumnya melebar, bisa ku tebak bahwa ia merasakan hal yang sama
bahagianya denganku. Sudah beberapa bulan kami tidak bertemu. Dia masih sama
seperti yang aku kenal dahulu, wanita sederhana dengan senyum yang meneduhkan.
“Alhamdulillah
baik, biasa lah mahasiswa. Kamu sendiri bagaimana? Iya sudah beberapa bulan
semenjak akang pindah ke Bandung, gak pernah ketemu lagi ya..”
Percakapan kami pun
terus menghangat, sesekali aku sisipkan candaan, karena aku tahu dia sangat
suka saat aku melontarkan sebuah candaan. Kami selalu melebur ketika itu,
seolah bukan hanya raga kami yang bertemu, namun lebih dari itu, hati kami
menyatu dalam untaian kata dan perasaan.
Tak terasa muara
percakapan pun semakin dekat. “Na, akang tak pernah tahu dengan ukuran apa
akang harus bahagia, hari ini akang bisa bertemu kamu. Hal yang ingin akang
bicarakan adalah tentang masa depan kita. Seberapa siap kita pergi melalui
beberapa rintangan di depan. Bukan tentang siapa yang akan datang, tapi siapa
yang akan bertahan..” ucapku
“Maksud akang?”
“Begini, akang tahu
belakangan ini akang menjadi orang yang asing bagi kamu. Karena kesibukan,
rutinitas dan hal lain yang sedang akang kerjakan”
Nina menolehkan
pandangan seolah sedang menyusun kata untuk memberi tanggapan.
“..mungkin akan
berbeda rasanya ketika sedang SMA, dimana akang bisa selalu ada untuk kamu.
Banyak batu loncatan di hidup akang yang membuat akang berubah dengan cepat dan
signifikan. Hal itu pula kurang lebihnya menjadi ihwal mengapa akang menjadi
orang lain di matamu..”
“tidak apa, Kang.
Aku mengerti..” sahut Nina
tanpa melihatku
Selama percakapan ini,
aku melihat Nina bak menyimpan seribu bahasa dan rasa. Memang, wanita susah
ditebak, akan berlaku apa ia selanjutnya.
“Tapi begini, kamu
jangan pernah khawatir dengan hubungan kita. Justru hal-hal ini yang harus kita
tempuh bersama, tak bisa hanya akang sendirian yang berjalan. Maksudnya, ketika
akang berusaha memperbaiki diri untuk menjadi imam. Pertanyaannya, apakah kamu
mau jadi makmum akang? Dan hal lanjut yang perlu kamu persiapkan untuk menjawab
adalah, mengapa kamu memilih akang sebagai imam?”
Hidup selalu penuh
pertanyaan untuk menentukan arah, bila sudah diketahui jawabannya, niscaya
hidupmu tak pernah tersesat. Sekalipun tersesat, tersesatlah dalam jalan yang
lurus.
Nina memang selalu
begitu, diam dan memperhatikan bila aku sedang berbicara. Tak pernah
menginterupsiku sampai aku selesai berbicara.
“Baiklah kang,
mungkin belakangan ini aku sedang dilanda keraguan. Aku adalah wanita, perasa
dan sangat rentan. Kadang aku dihinggapi hal-hal yang sebetulnya akupun
bersikeras untuk menghilangkannya. Kemudian aku tanya pada dzat pemilik hati,
apakah akang akan jadi imamku? Atau apakah aku pantas jadi makmum akang? Maka
pertanyaanku pada akang, akankah akang juga menerima bila aku berubah?”
Maksudnya? Berubah?
Menjadi lebih baik? Atau melakukan hal yang sama padaku dengan alasan yang
berbeda?
Dia memberikan nada
pertanyaan yang aku kira ini adalah sebuah ancaman. Betul, wanita tak pernah
bisa diduga, kemana ia akan melangkahkan sikapnya.
“Kalau itu demi
kebaikan kamu. Mengapa tidak?”
aku menawarkan balik
“Sebetulnya, akang
berbicara seperti ini tiada lain sebagai tanggung jawab moral akang. Ini loh
akang yang ingin kamu menjadi lebih dari yang lain. Karena akang inginkan kamu
menjadi pendamping mati akang. Bagaimana akang mau sehidup sesurga denganmu,
kalau kamu sendiri tidak akang bina dari hari ini. Kita sama-sama berjalan.
Maka, jalanlah disamping akang, agar kamu tahu kemana akang arahkan perjalanan
ini..”
Pembicaraan ini
emosional. Aku, seorang lelaki yang berusaha membangun komitmen dan berusaha
meyakinkan wanitanya bahwa cinta bukan hanya perilaku simbolis saja.
Nina pamit dan pergi
begitu saja.
“Memangnya berkorban itu mudah? Mudah saja bila
Nina juga mau berkorban, bukan dikorbankan. Karena posisi kami sama-sama
berjuang, juga sama-sama mencintai. Apakah Nina melakukan hal yang sama
denganku?” Tanyaku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar