Kali ini aku mencoba mengingat apa
yang terjadi sebelum semua ini terjadi. Tepatnya saat aku masih nyantri.
Saat ku bagikan kisah ini, saat itu aku sudah berada di penghujung semester dan
tahun terakhirku untuk menyelesaikan pendidikan dan tentunya aku akan keluar dengan
predikat santri. Setidaknya itu yang selalu membuatku gugup, mengingat hafalan Al
Quran ku jauh untuk pantas dikatakan sebagai santri yang orang kira hafal 5-10
juz, baca kitabku masih terbata-bata, percakapan arabku belum sefasih santri
yang layaknya sudah mahir dalam berbahasa arab. Jika mengingat hal itu, tentu
aku ingin mengulang waktu yang telah berlalu. Selalu dihantui beberapa
penyesalan, mengapa tidak dari dulu aku menyesal? Atau mungkin aku melakukan
sesuatu yang mungkin tak akan membuatku menyesal hari ini.
Masih kusimpan sampai saat ini, detik-detik
dimana santri kelas VI atau kelas XII akan berpisah untuk melanjutkan studinya
masing-masing, yang kental saat itu bahkan sampai mengiang sampai saat ini adalah
masa dimana satu persatu santri mengangkat lemarinya, tanda bahwa ia telah selesai
melaksanakan tugasnya untuk nyantri di Pondok yang entah kapan akan berjumpa
lagi. Tidak kuat bila ku bayangkan, persahabatan selama enam tahun, hingga
semuanya berasa seperti keluarga pada hari itu minggat untuk waktu yang takkan
pernah ditentukan kapan akan berjumpa lagi.
Tiada lain mereka akan melanjutkan
hidup untuk mengejar mimpinya masing-masing, ada yang dari jauh hari sudah
merencanakan diri untuk meneruskan di Perguruan Tinggi Negeri untuk mengambil
jurusan-jurusan favorit, saat itu rumpun Sains dan Teknologi masih menjadi
jurusan idaman bagi anak-anak SMA seumuran kami. Teknik Mesin, Industri, Farmasi,
Kedokteran dan lainnya masih menjadi
pujangga bagi kami. Namun tak sedikit juga yang ingin mengabdikan dirinya, memperdalam
ilmu agama bahkan tak tanggung memasang impian untuk melanjutkan studi islam ke
luar negeri, Mekkah, Madinah, Mesir, Sudan, Turki adalah impian mereka, dan
juga ada yang lebih mengikuti passionnya, seperti orang yang memang suka
menggambar, kemudian masuk jurusan Desain Komunikasi Visual, Arsitektur, atau
menyukai musik, mereka memasang impian untuk masuk jurusan musik, dan satu-satunya
orang yang memasang impian untuk masuk jurusan musik adalah aku. Namun dapat
dilihat, bahwa pesantren ini merubah paradigma bahwa setiap anak yang masuk ke
pesantren ujung-ujungnya akan menjadi ustadz, namun pesantren ini mendukung
setiap keragaman anak dan bakatnya, semuanya diarahkan untuk satu misi yakni
untuk dakwah, dimanapun lulusannya berposisi, diharapkan akan menjadi shibgah
atau pewarna, ragi bagi kehidupan dunia.
Aku yang waktu itu tak neko-neko memasang
impian untuk masuk jurusan musik di salah satu PTN ternama, merasa percaya
dengan pilihanku, terlebih saingan satu sekolah saja tidak ada, aku pikir
posisiku aman. Sebetulnya, aku mengambil jurusan pendidikan musik kala itu, agar
mendapat akta mengajar, setidaknya kalau aku gagal menjadi pemusik, aku bisa
menjadi pendidik. Hal ini dikarenakan orangtuaku yang juga guru mempengaruhiku
untuk berkiprah di dunia pendidikan kelak. Hatta aku mengikuti seleksi
perguruan tinggi yang menggunakan nilai rapot, aku ingat bahwa untuk jurusan
seni, mesti melampirkan portofolio berupa rekaman video sedang menggunakan alat
musik dan bernyanyi. Karena selera musikku dipengaruhi kedua orangtuaku yang
juga senang mendengarkan musik, saat itu aku bawakan lagu Richard Marx – Now
and Forever yang juga sudah aku kuasai dan fahami kunci nada dari lagu itu.
Setelah itu, aku unggah dan aku
tunggu cukup lama pengumuman dari seleksi itu, sampai setiap saat aku selalu
meminta pada Allah untuk memberikan yang terbaik, karena bila aku meminta untuk
meluluskan seleksi itu, artinya aku ingin melampaui kekuasaan Allah. Hingga suatu
hari, waktu pengumuman itu tiba dan menyatakan bahwa aku tidak lulus. Sejenak aku
terdiam, ada rasa kecewa yang berat mengingat plan yang sudah aku
rancang dari jauh hari bila aku masuk jurusan musik, semuanya lenyap hanya
karena jawaban “TIDAK LULUS”. Aku masih kebingungan, karena waktu itu aku
memegang teguh prinsipku bahwa aku tak akan mengikuti seleksi perguruan tinggi lewat
jalur tes akademik. Seketika duniaku hancur, aku berusaha untuk mencari pembelaan
terhadap tidak lulusnya aku.
Tak lama kemudian, pihak pondok
memberitahukan bahwa aku terjaring untuk mengikuti seleksi beasiswa Departemen
Agama, betapa bahagianya aku bahwa kesempatan itu masih ada, segera mungkin aku
bangkit dari penyesalan kemarin, kemudian aku benar-benar lebih serius untuk
beasiswa ini. Rasanya tak ingin ku sia-siakan kesempatan ini, kembali aku
memilih jurusan pendidikan dengan rasio penerimaan yang lebih terbuka lebar. Hampir
setiap hari selama kurang lebih sepuluh hari sebelum tes, aku membuka semua materi
yang tahun-tahun sebelumnya yang berkenaan dengan tes Beasiswa Departemen Agama,
meskipun tak lengkap, tetapi aku berusaha menggali informasi. Hingga akhirnya
satu hari sebelum tes itu dimulai, aku sudah pergi ke Bandung untuk
mempersiapkan segalanya karena tempat tes berada di salah satu universitas di Bandung.
Aku sempat gugup, namun berusaha untuk percaya diri. Setelah selesai
mengerjakan soal, aku yakin 80% jawabanku benar dan kabarnya dua minggu dari
tes itu adalah pengumuman hasil tes. Hingga waktunya tiba, aku kembali
dikejutkan dengan berita tidak lulusnya aku untuk mendapatkan beasiswa itu. Tidak
ada namaku di dokumen kelulusan itu. Saat itu aku benar-benar habis pikir,
entah plan mana lagi yang bisa aku jalankan. Aku sempat bersangka bahwa usahaku
sia-sia. Untuk hal ini, aku benar-benar kecewa ketika teman-temanku sudah
mendapatkan tempat kuliahnya, sementara aku masih bingung hendak kemana aku melanjutkan
pendidikan. Hari demi hari pada waktu itu benar-benar menjadi hari yang kelam
bagiku. Belum tanggungan sosial yang harus aku tanggung, perihal tempat
kuliahku yang hanya bisa ku beritakan pada orang-orang dengan ucapan “Lagi
nunggu pengumuman (universitas) di Bandung”, “Lagi nunggu pengumuman (universitas)
di Surakrta”.
Hingga akhirnya aku kembali membuka coretan
planning-ku. Ada satu plan yang memang sangat jauh dan
benar-benar alternative untukku, terlebih rumpunnya adalah Sains dan Teknologi,
sudah ku bayangkan bertemu dengan pelajaran-pelajaran eksak yang tak ku suka. Dan
akhirnya aku mengambil resiko itu. Aku berpasrah diri saat itu, hanya Allah yang
tahu mana yang terbaik untukku.
***
“Gulana, aku belum faham, kemana Dia
akan membawaku. Pastinya, saat ini aku hanya bisa berserah diri padaNya.”
***
Gulana, akan selalu menjadi kisah
yang melelahkan, menguras rasa dan meninggalkan sepenggal makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar