Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Jumat, 31 Agustus 2018

Narasi Jiwa: Pro-lo-gue

Aku adalah Rio Indrawan, seorang Mahasiswa yang tersesat dalam pilihannya. Segala pilihan aku rasa tersesat di dalamnya. Pendidikan, Cinta dan Karir. Aku terlahir diantara keluarga yang hangat, ya, setidaknya satu-satunya tempatku kembali dari berbagai macam peluh dan keluh duniawi.

Sore itu, selepas aku pulang dari kampus seperti biasa aku tidur di kasurku sembari memikirkan beberapa hal yang terjadi hari itu, entah tentang perkuliahan bahkan hubungan sosialku dengan teman sekitar. Aku selalu melakukan hal ini takut-takut aku melakukan suatu kesalahan dan kekhilafan yang tak disengaja yang mungkin saja melukai perasaan orang lain. Sampai aku ingat, hari itu aku sempat membatalkan pesanan ojek online-ku karena aku sangat lelah sekali dan ingin lekas pulang, sementara driver ojek online tersebut lama untuk sampai ke titik penjemputanku. Ya, aku selalu berusaha berfikir seadil mungkin. Mungkin.

Mungkin saja driver itu sedang bersiap-siap, atau terjebak macet di jalan. Mungkin juga aku yang tak sabar. Tapi mungkin itu juga wajar bagiku untuk membatalkan pesanannya. Aku selalu menyeimbangkan segala prasangka agar tak berdampak buruk padaku dan tak juga menyalahkan orang secara berlebihan.

Maghrib tiba, aku lekas membasahi peluhku dengan wudhu dan bergegas untuk sembahyang. Entah setan apa yang selalu mengganggu khusyuk-ku untuk berdialog dengan Tuhanku. Selalu ada yang membuatku sedih kala menghadap sang Maha. Tak jarang aku selalu membatalkan sembahyangku untuk mengulanginya lagi karena aku benar-benar tak khusyuk.

Niatku untuk membaca Al Quran terjegal sejenak, karena aku lupa, hari ini aku belum memberi kabar kepada Nina. Dia adalah aku, maksudku, aku pikir terlalu bocah bila ku sebut sebagai
pacar, karena aku masih berkeyakinan bahwa agamaku melarang untuk 'berpacaran', meskipun bila ditinjau secara kegiatan, pertemuan sering dilakukan, saling pandang, berpegangan pun mungkin dilakukan. Entahlah, mungkin di laman selanjutnya aku akan menggali tentang hasil diskusiku dengan teman tentang maknawi ber'pacaran'.

Aku menghubunginya via pesan singkat:

"Halo. Apakabar? Duh Maaf nih aku baru pulang.."
 (Sedikit geli tapi itulah adanya)

Sembari menunggu balasan, lantas aku melanjutkan untuk membaca Al Quran. Cukup setengah juz aku habiskan sampai isya.

Handphone-ku bergetar

"Halo. Kabar baik. Iya tak apa, sudah makan?"

Sebetulnya aku dan Nina menganut tipe komunikasi tingkat rendah, karena maksud dan tujuan percakapan selalu disampaikan langsung.

"Bagus lah, belum, baru mau beli nasgor. Kamu sudah?"
"Bagaimana persiapan kuliahmu?"

Nina adalah adik kelasku sewaktu SMA. Kami cukup dekat sudah lama. Namun diantara kedekatan itu selalu terselip bait-bait harapan yang baik, yang tak dapat terukur seberapa dalamnya dan seberapa tulusnya. Mungkin aku dan dia pun tak saling tahu dan mengukur. Tapi kami menjalaninya.

"Sudah. Ya begini, masih mencari-cari yang pas kemana nih.."

Aku selalu menyerap intisari dari dialog kami. Aku selalu arahkan harus kemana pembicaraan ini bermuara, karena aku pikir, sia-sia bila hanya bertanya hal yang normatif.

"Oh begitu, kira-kira, diantara pilihan yang sudah di-list. Kamu lebih cocok kemana?"
"Entahlah, mungkin aku akan mengambil Akuntansi atau Bisnis.."

 Lagi-lagi pembicaraan kami terpotong, karena perutku sudah keroncongan dan memaksaku untuk mencari sesuap nasi. Seperti biasa, ku nyalakan dulu sebatang rokokku agar mulut tak pahit, pasalnya aku bukan pecandu rokok, maksudku, di kampus, aku tak pernah menghisap tembakau ini.
 Selagi aku berjalan, tak henti-hentinya handphone-ku bergetar, namun aku biarkan saja, toh, tidak ada yang penting selain percakapan tadi.

Saking seringnya handphoneku bergetar, aku nyalakan, dan sudah banyak pesan memenuhi aplikasi pengirim pesanku yang berisi cukup panjang..

(To Be Continued..)

1 komentar:

  1. Diantos pisan, apakah novel bahkan filmnya yang perdana mengudara.

    BalasHapus