Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Sabtu, 06 Oktober 2018

Narasi Jiwa: Esensi


Semakin penasaran, Nina aku telfon, namun nyatanya ia sedang melakukan panggilan suara kepada nomor yang lain. Mungkin, ia sedang menungguku dengan melakukan panggilan dengan temannya, laki-laki atau perempuan? Ah itu sudah tak ku pikirkan lagi. Aku sangat percaya bahwa Nina selalu membicarakan segala sesuatunya padaku, sekalipun akan menerima panggilan dengan laki-laki, toh aku juga bukan pencemburu yang keterlaluan. Bagiku, cemburu itu hal yang sangat wajar dan mengekspresikannya pun tak ada seorangpun yang punya ukuran untuk menghakimi bahwa ini berlebihan dan itu keterlaluan. Semuanya relative, tergantung bagaimana kita mengkomunikasikannya. Justru menurutku, bersikap biasa saja dan acuh merupakan hal yang tak wajar dalam sebuah komitmen, aku pikir, dengan bersikap acuh mungkin saja tidak ada narasi yang sampai ke dalam komitmen yang sedang dijalin.

Tak lama kemudian, ia mengetik pesan kepadaku
“Kang, maaf tadi aku ditelfon temanku. Katanya besok sudah mulai dibuka pendaftaran di Universitas Reformasi..”
“Oh begitu ya, gak apa-apa, akang hanya pastiin aja kamu gak ketiduran..”
“Ngga kang, masih nugas?”
“Masih nih, tapi bukan tugas kampus, tugas masa depan..hehe”
“Maksud akang?”
“begini, akang kan sedang nyusun proposal bisnis, ya buat investasi masa depan. Modal juga buat nikahin anak orang..” aku mengetik pesan itu sembari tersenyum.
“Ah akang bisa aja..” dia menambahkan emot tersenyum
“Yasudah kang, lanjutin aja bikin proposalnya, aku takut ganggu..”
“Ngga kok, tapi sambil temenin aja ya..”

Aku pun larut dalam pekerjaanku hingga waktu tak terasa menunjukkan pukul 01.45 dinihari. Aku cek lagi handphone ku, pesanku sudah tak berbalas semenjak pukul 10.30 tadi. Sebetulnya isi percakapan kami bukan hanya kiriman kata atau bunyi semata. Lebihnya itu adalah suatu bentuk ungkapan rasa, betapa inginnya kami bercengkrama. Sayang, jarak saat ini membekukan pertemuan yang semestinya mencairkan segala penatku. Bukannya tak ingin, tapi aku menahannya sampai waktu yang tepat itu datang, siapa yang tahu? Yang sudah-sudah pun, kami memiliki waktu, kami merencanakan bertemu, tapi apadaya, tuhan belum jua memberi momen.

Sebetulnya, aku adalah tipe lelaki yang selalu berfikir satu langkah ke depan dari apa yang aku perkirakan esok. Maksudku, bila kebanyakan orang menyaratkan bahwa hubungan itu harus saling bertemu, bermain, menghabiskan waktu dan lain sebagainya, namun aku beda, aku serap saja dari inti pertemuan dan bermain itu, tak lain untuk berkomunikasi dan untuk saat ini, aku menikmati komunikasiku meskipun harus melalui media pesan elektronik. Terlebih, semakin lama aku mengenalnya, semakin bulat aku mempersiapkan diri untuk bekalku di masa depan, selalu terngiang di kepalaku, apa mungkin kau menikahi dia dan tak mampu membahagiakannya? Apakah dengan komitmen? Mungkin.

Bagiku, Komitmen adalah hal yang lebih dari sekedar ikrar, tak semua pasangan mau diajak untuk berkomitmen, takutkah? Padahal itulah yang akan menjadi koridor dalam menjalin hubungan, semacam tujuan akhir namun terfokus pada proses. Bukankah indah bila suatu hubungan terpagari oleh sebuah janji suci? Sayang, masih banyak pasangan yang lebih memilih untuk bermain dan mengikuti suasana nafsu ketimbang membangun hal se-serius ini. Sudahlah, mataku sudah protes karena lelah seharian bertatap-tatap dengan layar laptopku. Selamat malam otot yang tegang, selamat malam otak yang keram, dan selamat malam juga Nina, semoga angin malam ini membawa pesan rindu ke jendela kamarmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar