Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Minggu, 25 Februari 2018

GULANA

Hari ini, adalah hari pertamaku untuk kembali merantau membekali diri dengan ilmu. Salah satu pandanganku yaakni tak pernah mendikotomi ilmu apa yang akan aku bekal, selain ilmu agama yang utama, tak lupa ilmu lainnya sebagai penunjang untuk kehidupanku. Terletak sekitar 60 kilometer jauhnya dari tempat kelahiranku, Bandung menjadi destinasi untukku menuntut ilmu. Aku yang semenjak lulus dari sekolah dasar tak pernah lagi merasakan didikan langsung oleh orangtuaku, pasca itu aku disekolahkan ke pesantren, secara tidak langsung aku tidak pernah lagi merasakan kebersamaan dengan keluarga secara penuh selain hanya hari libur, ditambah sekarang aku harus kembali menjadi perantau ilmu, apalagi kali ini aku harus berada jauh dari kedua orangtuaku.

Pagi itu aku segera berkemas untuk lekas kembali ke Kota Bandung, ada satu perasaan yang selalu menyeruak menyesakki dadaku - harus berpisah dengan keluarga. Jangan heran, aku yang sudah menginjak usia dewasa awal, masih selalu bercerita tentang keluarga karena di tempat kelahiranku Garut, jarak dari rumah saudara yang satu ke yang lainnya sangatlah dekat, bahkan kami selalu mengadakan vakansi keluarga besar, bahkan hanya sekedar makan-makan di luar pun selalu melibatkan keluarga besar, maka faktor itulah yang membuatku merasa sangat dekat dengan keluarga dan seakan sepi bila mesti hidup jauh dari suasana keluarga seperti itu. Mungkin akan beda rasanya dengan orang yang menjadi muhajirin (rantau, red) satu keluarga dan berada jauh dari handai taulan lainnya.
***
Namun, pagi yang biasanya cerah kali ini benar-benar terselimuti oleh awan. Aku tak pernah menghubungkannya dengan
keadaan dan situasi apapun. Secara psikologis, hal itu sangat sensitif dan memengaruhi perasaan. Setelah aku kemas barang-barangku, lantas aku menaikannya kedalam kap mobil. Setiap kilometer perjalanan yang aku lalui menuju Bandung sangat aku hargai sebagai momen-momenku bersama orangtuaku sebelum aku kembali untuk mencari ilmu. Perjalanan yang sebetulnya sudah tak asing dan membosankan bagiku karena saking seringnya aku pulang pergi ke Bandung, saat itu sangat kunikmati dan seolah tak ingin sampai, kalaupun sampai, kuharap sampai kembali ke rumah. Dengan cuaca Bandung yang mendung, ditemani putaran lagu Ebiet G. Ade yang sangat ikonik dan memorable untuk perjalanan-perjalanan jarak jauh, mengiang di dalam otakku lirik lagu Ebiet
"Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk disampingku kawan.." -Ebiet G Ade, Berita Kepada Kawan
Aku seolah berada di dalam dua posisi, di sisi lain aku senang karena aku akan kembali kuliah, di sisi lain ada perasaan berat ketika harus meninggalkan keluarga. Tak terasa aku sudah sampai ke tempat dimana aku bermukim di Bandung (kost-an, red). Setibanya di kamar kost, kedua orangtuaku membersihkan kostan-ku yang sudah 3 minggu lamanya tak aku tempati, itulah naluri orangtua padahal mereka datang sebagai "tamu" namun rela untuk sekedar menyapu, membersihkan kamar kost-ku. Tak perlu ku ceritakan lagi bentuk kasih sayang orangtua yang sudah pasti.

Setelah usai dengan waktu yang sangat singkat, aku mencoba membujuk kedua orangtuaku untuk bervakansi sejenak mengelilingi Kota Bandung, sengaja aku lakukan agar waktu bersamaku semakin lama. Akhirnya kami bervakansi mengelilingi pusat kota Bandung. Lagi terjadi, waktu berjalan begitu cepat, akhirnya aku kembali pulang diantar oleh orangtuaku sembari mereka melanjutkan perjalanannya ke Garut. Sungguh perpisahan yang tak perlu aku jelaskan, seberapa dewasapun seorang anak dimata orangtua, tetap akan dikhawatirkan, dirindukan karena itulah nilai paling berharga yang tak mampu dilakukan oleh makhluk lain selain antara orangtua dan anaknya.

Namun aku berfikir, betapa aku berjalan dalam kesunyian hidup yang tak ada penerangan lain selain dariNya. Ada langkah yang berkolerasi antara doa orangtua dengan sambutan dari anak. Maksudku, ketika orangtua merintihkan doanya di setiap sujudnya, maka kewajiban kita sebagai anak adalah bersedia menerima itu dengan cara kembali berdoa untuk kedua orangtua dan untuk kita, maka akan ada satu titik temu dimana terjadi transfer doa, orangtua dan anak saling berkirim doa maka keduanya akan saling menerima doa.

Sungguh, banyak pelajaran yang aku terima terlebih saat aku benar-benar berada jauh dari orangtua. Aku harus bisa menjaga segala yang melekat dalam ke-aku-an, harga diriku, keluargaku dan segalanya. Termasuk aku harus lebih memperhatikan apa langkah yang akan aku ambil, aku selalu bertanya, apa dampaknya, apa manfaatnya, bagaimana konsekuensinya, dan lain sebagainya. Karena aku menyadari, dewasa ini aku sudah berada "di luar rumah" tempat paling aman, didikan paling luarbiasa, aku harus sudah bisa melawan arus yang tidak elok, harus sudah mencari kebenaranku sendiri, harus mencari berbagai alasan mengapa aku harus hidup dan mengapa aku nanti layak untuk mati.

Akupun selalu merenung dalam heningnya malam, ketika aku SD aku selalu mempunyai objektif untuk lulus dan masuk SMP, demikian ketika aku SMP selalu mempunyai kejaran cita-cita bahwa aku harus lulus dan masuk SMA, kemudian setelah SMA aku harus lulus dan masuk Universitas. Lantas setelah semua ini terlewati, apa objektifku selanjutnya? Mungkin tujuanku selanjutnya adalah kematian, yang tak akan membawa gelar sekolahku, hartaku. Maka perbuatan apa lagi yang tak layak untuk ku niatkan sebagai lillah?

Terlebih di pundakku begitu berat berbagai macam tanggung jawab atas uang yang telah dikeluarkan orangtuaku untuk membiayai sekolah dan hidupku, atas segala lelah yang mereka kerahkan untuk mendidikku, membesarkanku dan menyayangiku, atas air mata yang selalu jatuh untuk merintihkan doa agar hari-hariku terlewati dengan baik.

"Gulana, itulah permulaanku saat ini. Namun, aku hidup untuk masa yang sudah lalu, aku hidup untuk memperbaiki masa depan. Maka awal dari segala awal, ku lafadzkan Bismillahirrahmanirrahim untuk mengawali hari-hariku kedepannya, dan akan senantiasa ku perbaharui Bismillah-ku setiap saatnya.."
***
Gulana, akan selalu menjadi perjalanan kisahku yang lelah, menguras rasa dan meninggalkan hikmah.

2 komentar: