Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Jumat, 12 Oktober 2018

Narasi Jiwa: Tersesat




Adzan yang melengking indah telah membangunkanku tepat pada pukul 04.26. Aku sudah terbiasa membuka handphone ku terlebih dahulu, setidaknya selama aku berada di kosan, handphone adalah satu-satunya jendela agar aku senantiasa bisa membuka jendela dunia, hanya sekedar melihat Instagram atau platform lain pun itu sudah menjadi hiburan untukku.

Semalam ku tinggal, Ghani mengirim pesan padaku pada malam harinya:
“Yo, besok bisa ‘kan lo pergi ke CafĂ© Semio yang di Jalan Tegalega. Ada yang mau dibicarain..”

Tak biasanya Ghani menyengaja membuat jadwal pertemuan, padahal hari itu jam kuliah ku penuh dan yang paling penting, hari itu ada jadwal praktikum analisis pangan yang sulit untuk aku tinggalkan. Kalau saja aku meminta izin, sudah pasti aku tak bisa mengikuti jadwal praktikum selanjutnya.

Kadang aku bingung, sebetulnya dulu aku sangat ingin menjadi seniman, ya setidaknya jadi Epy Kusnandar yang piawai memainkan karakter Muslihat di salah satu sinetron seri yang melekat di hati para pemirsa terutama lakonnya itu menjadi sangat kental sampai terbawa suasana bahwa di kota ini ada seorang Muslihat di kehidupan nyata. Namun takdir berkata lain, impianku menjadi seniman harus kandas karena sudah beberapa kali dan beberapa jalur tes memasuki universitas yang menawarkan program studi kesenian aku gagal di dalamnya. Padahal, akting ku tak begitu buruk, setidaknya sampai tahun ke 3 ini aku berada dalam topeng dan harus menjadi orang yang lain di kampus, karena aku kuliah di jurusan hasil industri pertanian yang sama sekali tak pernah ku duga akan menjalani hal ini.

Berat memang harus hidup di jalan yang tak semestinya, tersesat dalam gua yang gelap gulita, berusaha mencari secerca bahan untuk sekedar menerangi jalan untuk keluar dari gua tersebut. Tergopoh-gopoh mencari tumpuan untuk melanjutkan tujuan, tapi semua itu tak mungkin jua aku hentikan.

Seketika aku harus mengubah jadwal kegiatanku sebelum deal dengan Ghani.
“Siap gan, ba’da ashar urang berangkat..”

Di sela waktu praktikum, Dian teman satu kelasku yang juga teman SMA menanyakan tentang hubunganku dengan Nina.

“Yo, lu masih hubungan sama Nina?”

“Masih lah, kenapa?”

“Tapi gue liat lo santai aja, gue kira udah engga..”

“Ya berarti bagus dong, berarti gue ga ada masalah sama Nina. Ya udah habislah masa-masa gue buat lebay, upload foto, snapgram bareng, yang kayak gitu. Males gue..”


Percakapan kami berlanjut ngaler ngidul (kesana kemari) hingga kami harus menyelesaikan praktikum analisis pangan untuk menghitung nilai karbohidrat yang terdapat pada nasi. Aku jadi teringat, ada proses gelatinisasi pada nasi, yakni pembengkakan granula pati yang dipengaruhi oleh air dan suhu. Singkatnya, inilah teori yang menjelaskan mengapa beras yang dinanak, diberi air dan suhu yang panas akan berubah menjadi nasi. Mungkin ini pula yang mesti aku pahami, mengapa aku secara terpaksa harus menelan takdir menjadi seorang ahli pangan. Bisa saja, aku yang dulunya tak sama sekali menyukai pelajaran macam kimia, pertanian dan semisalnya yang aku ibaratkan itu adalah beras, tapi terus dijejali oleh ilmu-ilmu tersebut yang ibaratkan air, juga dipanaskan oleh suhu yang berarti aku terus ditempa oleh berbagai keputus asaan. Bisa saja nanti aku menjadi produk hasil yakni nasi, yang bisa bermanfaat banyak bagi yang lainnya. Namun, sejauh ini aku belum sampai ke puncak ilmu tersebut, ibarat menaiki gunung, mungkin aku baru sampai ke pos 2 atau 3, jadi aku hanya terfokus pada terjalnya jalan menuju puncak, merasa lelah dan hampa dan ada 4 pos lagi untuk sampai puncak agar aku bisa melihat keindahannya. Sayangnya, aku merasa tersesat dan masih banyak pertanyaan, mengapa aku harus menaiki gunung yang ini? Sementara ada gunung lain yang aku idamkan untuk ku taklukkan. Mengapa?

Aku tak pernah mengerti mengapa Tuhan selalu menentukan hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, apakah ini membuktikan firmanNya; bisa jadi yang kau sukai, itu buruk bagimu dan bisa jadi yang kau benci itu baik bagimu. Pada akhir ayat ditegaskan bahwa Tuhanlah yang mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Sejauh ini, firman itulah yang selalu menjadi peganganku, setidaknya untuk tetap tersesat di jalan yang lurus. Mungkinkah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar