Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Jumat, 19 Oktober 2018

Narasi Jiwa: Recall



Sebuah keberuntungan, aku memiliki teman yang sedang fokus menjalani keterampilannya dalam berwirausaha, setidaknya aku bisa menggali ilmu darinya. Meskipun demikian, aku tidak pernah mendapatkan dukungan yang serius dari keluargaku untuk menentukan pilihan untuk menjadi seorang pebisnis. Tapi aku yakin, jalan yang sedang aku ikhtiari ini adalah jalan yang lurus.

Akupun akhirnya bertemu dengan Ghani dan kami membicarakan tentang bisnis yang sedang kami bangun, sebuah kedai wedang yang menjadi target kami, mengingat competitor yang masih minim di kota ini, dan aku melihat ada peluang besar di bisnis ini.
“Kita masih kebingungan untuk cari starting fund” ungkap Ghani.
“Kemarin, gue udah ketemu beberapa senior kita di SMA yang sudah jadi pengusaha sukses. Tapi hasilnya sampai saat ini belum ada respon yang baik..” aku menjawab.
“Sebetulnya kita perlu dana lebih dari 30 juta untuk mempersiapkan segalanya, kacaunya kita belum dapat sepeserpun uang untuk memulai ini semua..”

Aku pun memutar balikkan otak, berusaha mencari jalan keluar dari masalah finansial ini. Memang sial!

Sempat terlintas di fikiranku untuk menjual beberapa alat musikku yang pernah aku beli demi memenuhi hobiku. Namun, pantaskah aku menggadaikan passion-ku dengan hal yang belum tentu akan menjadi passion-ku. Terlebih yang selalu ku pikirkan adalah masalah tentang untung dan rugi. Berat memang, tapi resiko mesti diambil ketimbang kita terus berdiam dalam ketidakpastian, pasalnya aku harus mengorbankan yang aku cintai. Aku pikir mengambil resiko lebih baik ketimbang aman dalam zona yang begitu-begitu saja. Sebagai seorang lelaki, aku harus mempunyai prinsip dan idealisme yang kuat yang nantinya hal inilah yang akan membangun mentalitaku.

“Mengorbankan yang dicintai bukan hanya sekedar melepaskannya, lebih jauhnya yakni merelakan hal-hal yang penting untuk pergi. Percayalah, tidak ada yang lebih sulit daripada memulai dan tidak ada yang lebih manis daripada memetik hasil. Pertanyaan terbesarnya, apakah aku siap dengan segala konsekuensi ini? Melepaskan? Apa yang mesti aku lepaskan?” aku sejenak merenung.

Tak terasa, sayup adzan di tengah kota itu sudah mengetuk-ngetuk telingaku dan Ghani. Tak ingin melewatkan panggilan ilahi, kami pun bergegas untuk pergi ke mushala dekat café itu. Sungguh, tiada yang lebih segar daripada basuhan air wudhu, tak heran mengapa orang yang mampu menjaga wudhu-nya mampu menjaga segala aktifitasnya. Tak pernah berkata yang bukan semestinya dikatakan, karena mulutnya terbasuh. Tak pernah menoleh kepada hal yang bukan semestinya ditoleh, karena wajahnya terbasuh. Tak pernah bertindak melebihi batasan agama, karena tangannya terbasuh. Tak pernah mendengar apa yang tak semestinya didengar, karena telinganya terbasuh. Tak pernah melangkah kepada apa yang dilarang oleh agama, karena kakinya terbasuh.

Usai shalat, aku dan Ghani lekas kembali ke meja tempat kami berbincang, sengaja aku titipkan karena percakapan belum usai. Sembahyang benar-benar melenturkan kami, bukan hanya sendi yang kaku karena lelahnya mengusahakan dunia, tapi jiwa dan raga yang kering karena habis merasakan pahit dan getirnya dunia. Sebagai teman SMA, kami sedikit mengarahkan pembicaraan hanya sekedar untuk bernostalgia. Aku ingat, waktu itu aku pernah di panggil ke ruang konseling karena aku pernah melakukan kenakalan remaja. Aku ketahuan bolos sekolah dan memilih untuk mengikuti parade musik band di salah satu event bergengsi, karena kecintaanku terhadap seni apapun itu, seni olah ekspresi dan olah nada. Aku dan beberapa temanku yang waktu itu memiliki pilihan yang sama, yakni bermusik, memutuskan untuk mengikuti parade musik itu, keren memang, apalagi dengan genre metal dan disitu kami adalah peserta paling muda. Masih ingat, list lagu yang aku bawakan adalah lagu Asking Alexandria yang berjudul I Won’t Give In dan Someone Somewhere. Kedua lagu tersebut sangat menggambarkan isi hati kami, I Won’t Give In menggambarkan sisi kerja keras kami, seolah tak ingin tertandingi dan terus melejit. Sementara Someone Somewhere adalah lagu yang menggambarkan sisi lembut dari kami, sejauh apapun kami manggung, senakal apapun kami, tapi kami selalu ingat bahwa ada seseorang di suatu tempat yang selalu menunggu kabar baik dari kami, selalu mengkhawatirkan kami, ya, itulah orangtua kami. Penjiwaan lagu kami dapatkan karena kami bernyanyi untuk membunyikan isi hati, bukan hanya sekedar teriak-teriak seperti keranjingan. Setidaknya hari itu adalah hari bersejarah bagi kami, akhirnya kami dinobatkan sebagai band dengan penampilan panggung favorit meskipun di sekolah, kami malah dinobatkan sebagai sekelompok anak nakal yang bolos demi mengejar impian dan cita-cita.

Aku selalu aneh, mengapa hal macam ini terjadi. Bukankah kita sepakat bahwa pendidikan itu mestinya mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak? Itulah yang membuat anak-anak betah untuk menekuni pembelajaran, karena mereka menjalani apa yang mereka cintai dan fokus kepadanya. Justru dengan memaksanya dengan hal yang tak mereka cintai, anak-anak akan mencari seribu cara untuk menghindarinya. Kami lah buktinya. Sudahlah, terlalu banyak aku berkata, toh aku bukan sarjana pendidikan ini, hanya calon sarjana pendidikan yang sudah lulus sebelum diterima kuliah.

Dari kejadian itu, aku mendapatkan beberapa stereotip dari lingkunganku. Guru-guru yang memandangku sebagai anak yang tak taat aturan, dan teman-teman yang sudah menanamkan hal yang sama kepadaku, tepatnya kepada kami. Namun beruntungnya aku memiliki Wali Kelas yang sangat mengerti, namanya Pak Dedy, beliau tak keheranan sedikitpun dan tak menampakkan kekecewaannya kepadaku.

“Bapak tahu siapa kamu, di kelas, di luar kelas. Tak apa nak, itu yang lebih kamu butuhkan, pengalaman itu yang kamu butuhkan. Apa yang kamu lakukan sudah benar, tapi tidak baik dalam pandangan sekolah. Lazimnya, kamu selesaikan dulu kewajibanmu sebagai pelajar, selebihnya kamu adalah apa yang kamu mau, musisi kah, seniman kah, bahkan lebih dari itu. Belajarlah adil pada dirimu sendiri, dalam konsep menempatkan sesuatu pada tempatnya..” dengan santai Pak Dedy berkata demikian.

Diksi yang berat untuk dibincangkan padaku, tapi aku mudah memahami kemana percakapan ini bermaksud. Pak Dedy memang bukan sekedar Wali Kelas, ia adalah orangtua bergaya teman.

Ditengah perbincanganku dengan Ghani, handphoneku bergetar. Tenyata ada 3 pesan dari Nina yang belum aku baca. Aku lihat di pop-up Nina mengirim pesan dengan sangat panjang dan terdapat kata “Maafin aku ya kang..”
Perasaanku sudah mulai tak enak. Kira-kira Nina mengirim pesan apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar