Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Jumat, 02 November 2018

Narasi Jiwa: Bersua




“Maafin aku ya kang, selama ini suka ganggu akang, aktivitas akang dan lainnya. Aku cuma ingin tau kegiatan akang. Kita sekarang udah jauh secara jarak dan udah beda dunia. Aku harap akang bisa mengerti maksud pesan aku..”
“Bukannya apa-apa, wajar kan aku khawatir, atau berfikir aneh karena akang belakangan ini beda?”
“Maafin aku ya kang, kalau aku sekiranya ganggu akang. Kapan aja akang baca, akang boleh bales..”

Aku pun terdiam sejenak, seolah merasa bersalah karena telah mengejar ambisiku dan mengorbankan orang yang selama ini aku sayang. Apakah aku salah? Dalam kasus ini mutlak aku yang salah, aku terlalu dibutakan oleh ambisiku sehingga sisi realitasku tak terimbangi. Masih banyak orang di sekitarku yang mungkin akan selalu ada ketimbang ambisiku yang sewaktu-waktu bisa padam dan pasti akan padam.

Lelaki mana yang tak meleleh hatinya diberi pesan seperti itu, lebih dari seorang partner, Nina selalu membiusku dengan sikap dan sifatnya. Tak mengelu-elu, tapi kenyataannya memang begitu. Kata-katanya yang tak pernah sedikitpun menggores perasaanku, tuturnya yang lembut selalu memadamkan api kegelisahanku membuat aku jatuh sangat dalam bukan padanya, tapi pada sifat dan sikapnya yang lebih anggun dari sekedar penilaian fisik.

“Tak apa Nina, harusnya akang yang minta maaf. Akang terlalu memikirkan obsesi hingga lupa segalanya. Baiknya kita bertemu mumpung kamu sedang di Bandung, ya kan?”

“Iya kang, besok akang kosong jam berapa?”

Kami merencanakan untuk bertemu dan saling menukar rindu. Maka perbincangan dengan Ghani pun aku sudahi karena letih sudah memaksa kami untuk melihat ternyata waktu sudah menunjukkan larut malam.

Esoknya, di Daerah Asia Afrika kami bertemu. Sungguh pertemuan yang sangat aku nanti, tak sabar aku melepaskan bebanku dengan melihat senyumnya. Tak sabar aku mencairkan penatku dengan mendengar suaranya. Tak sabar aku melempar rindu yang sudah lama tak berujung.

Dari kejauhan sudah ku lihat sosok wanita dengan hijab hitam, rapi dengan jalan yang sangat anggun. Menundukkan mukanya karena ia seorang pemalu. Mendekati dan menyapaku. Serasa waktu berhenti saat dia tersenyum kepadaku, senyum sangat aku nanti dan aku rindukan.

“Assalamualaykum kang..”
 Entah bagaimana perasaanku disapa demikian.
“Alaykumussalam. Nina..”
“Kang, gimana kabarnya? Udah lama banget gak ketemu yah..” senyumnya melebar, bisa ku tebak bahwa ia merasakan hal yang sama bahagianya denganku. Sudah beberapa bulan kami tidak bertemu. Dia masih sama seperti yang aku kenal dahulu, wanita sederhana dengan senyum yang meneduhkan.
“Alhamdulillah baik, biasa lah mahasiswa. Kamu sendiri bagaimana? Iya sudah beberapa bulan semenjak akang pindah ke Bandung, gak pernah ketemu lagi ya..”
Percakapan kami pun terus menghangat, sesekali aku sisipkan candaan, karena aku tahu dia sangat suka saat aku melontarkan sebuah candaan. Kami selalu melebur ketika itu, seolah bukan hanya raga kami yang bertemu, namun lebih dari itu, hati kami menyatu dalam untaian kata dan perasaan.

Tak terasa muara percakapan pun semakin dekat. “Na, akang tak pernah tahu dengan ukuran apa akang harus bahagia, hari ini akang bisa bertemu kamu. Hal yang ingin akang bicarakan adalah tentang masa depan kita. Seberapa siap kita pergi melalui beberapa rintangan di depan. Bukan tentang siapa yang akan datang, tapi siapa yang akan bertahan..” ucapku
“Maksud akang?”
“Begini, akang tahu belakangan ini akang menjadi orang yang asing bagi kamu. Karena kesibukan, rutinitas dan hal lain yang sedang akang kerjakan”
Nina menolehkan pandangan seolah sedang menyusun kata untuk memberi tanggapan.
“..mungkin akan berbeda rasanya ketika sedang SMA, dimana akang bisa selalu ada untuk kamu. Banyak batu loncatan di hidup akang yang membuat akang berubah dengan cepat dan signifikan. Hal itu pula kurang lebihnya menjadi ihwal mengapa akang menjadi orang lain di matamu..”
“tidak apa, Kang. Aku mengerti..” sahut Nina tanpa melihatku
Selama percakapan ini, aku melihat Nina bak menyimpan seribu bahasa dan rasa. Memang, wanita susah ditebak, akan berlaku apa ia selanjutnya.

“Tapi begini, kamu jangan pernah khawatir dengan hubungan kita. Justru hal-hal ini yang harus kita tempuh bersama, tak bisa hanya akang sendirian yang berjalan. Maksudnya, ketika akang berusaha memperbaiki diri untuk menjadi imam. Pertanyaannya, apakah kamu mau jadi makmum akang? Dan hal lanjut yang perlu kamu persiapkan untuk menjawab adalah, mengapa kamu memilih akang sebagai imam?”

Hidup selalu penuh pertanyaan untuk menentukan arah, bila sudah diketahui jawabannya, niscaya hidupmu tak pernah tersesat. Sekalipun tersesat, tersesatlah dalam jalan yang lurus.

Nina memang selalu begitu, diam dan memperhatikan bila aku sedang berbicara. Tak pernah menginterupsiku sampai aku selesai berbicara.
“Baiklah kang, mungkin belakangan ini aku sedang dilanda keraguan. Aku adalah wanita, perasa dan sangat rentan. Kadang aku dihinggapi hal-hal yang sebetulnya akupun bersikeras untuk menghilangkannya. Kemudian aku tanya pada dzat pemilik hati, apakah akang akan jadi imamku? Atau apakah aku pantas jadi makmum akang? Maka pertanyaanku pada akang, akankah akang juga menerima bila aku berubah?”

Maksudnya? Berubah? Menjadi lebih baik? Atau melakukan hal yang sama padaku dengan alasan yang berbeda?

Dia memberikan nada pertanyaan yang aku kira ini adalah sebuah ancaman. Betul, wanita tak pernah bisa diduga, kemana ia akan melangkahkan sikapnya.

“Kalau itu demi kebaikan kamu. Mengapa tidak?” aku menawarkan balik
“Sebetulnya, akang berbicara seperti ini tiada lain sebagai tanggung jawab moral akang. Ini loh akang yang ingin kamu menjadi lebih dari yang lain. Karena akang inginkan kamu menjadi pendamping mati akang. Bagaimana akang mau sehidup sesurga denganmu, kalau kamu sendiri tidak akang bina dari hari ini. Kita sama-sama berjalan. Maka, jalanlah disamping akang, agar kamu tahu kemana akang arahkan perjalanan ini..”

Pembicaraan ini emosional. Aku, seorang lelaki yang berusaha membangun komitmen dan berusaha meyakinkan wanitanya bahwa cinta bukan hanya perilaku simbolis saja.
Nina pamit dan pergi begitu saja.
“Memangnya berkorban itu mudah? Mudah saja bila Nina juga mau berkorban, bukan dikorbankan. Karena posisi kami sama-sama berjuang, juga sama-sama mencintai. Apakah Nina melakukan hal yang sama denganku?” Tanyaku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar