Halaman

NEW POST!

Publikasi Baru di Jurnal My Food Research

Senang sekali bisa berkesempatan untuk berkontribusi sebagai co-author bersama Ibu Putri Widyanti Harlina, S.Pt., M.Si., M.Eng., Ph.D. dan ...

Minggu, 13 Maret 2022

SUDUT PANDANG: Logo Halal Diubah, Memangnya Kenapa?

Logo Halal Baru
Logo halal baru. (sumber gambar: kompasiana.com)

    Pagi (3/13) saya dikagetkan dengan ramainya berita penggantian Logo Halal oleh Kemenag bersama BPJPH. Hal ini mendorong saya untuk melihat informasi faktual mengenai berita yang cukup meriuhkan masyarakat. Ternyata benar, logo halal yang sudah melekat di ingatan kita diganti dengan versi yang lebih kekinian dan fresh dari sudut pandang desain dan grafis, akan tetapi hal ini kemudian riuh di tengah masyarakat karena logo halal tidak menggambarkan apapun yang berkaitan dengan kehalalan melainkan budaya semata. Sebelum membahas lebih banyak, biar saya runut satu per satu;


PERJALANAN PENJAMINAN PRODUK HALAL

    Pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 menetapkan regulasi mengenai Jaminan Produk Halal. Reformasi dalam penjaminan produk halal yang mencakup makanan, obat-obatan, kosmetik dihimpun dalam UU ini. Bahkan, sistem birokrasi dalam penjaminan produk halal diubah dan sudah bukan menjadi tanggung jawab lapangan MUI, melainkan adanya badan khusus yang dibuat sebagai operator penyelenggara penjaminan produk halal yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang kemudian disingkat BPJPH. Badan ini memiliki lembaga yang nantinya akan berperan lebih jauh secara teknis dalam proses audit sertifikasi halal di industri besar hingga UMKM, lembaga ini kemudian disebut LPH atau Lembaga Pemeriksa Halal yang bisa saja didirikan oleh Universitas, Ormas atau Lembaga tertentu. Dengan birokrasi semacam ini, maka tanggung jawab MUI dalam rangkaian sertifikasi halal hanya terletak pada sidang fatwa untuk memutuskan produk ini halal atau tidak secara syariah, kemudian proses pengeluaran sertifikat halal dikembalikan pada BPJPH.

    Singkatnya, dengan adanya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini akan melindungi konsumen muslim-khususnya dari produk yang belum tersertifikasi halal atau produk yang non-halal. Maka dari itu, undang-undang ini mengatur lebih jauh hal fundamental dan teknis mengenai penjaminan produk halal di Indonesia, salah satunya adalah pencantuman logo halal pada kemasan produk.

 

POLEMIK LOGO HALAL

    Polemik tentang logo halal ini riuh di tengah masyarakat yang mempertanyakan alasan Menag dan BPJPH mengganti logo halal. Terlebih, logo halal merupakan salah satu aspek yang penting dalam sosialisasi produk halal di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, logo halal yang dikeluarkan oleh Kemenag dan BPJPH sangat kental dengan budaya tertentu. Memiliki bentuk menyerupai gunungan pada wayang dan terdapat kalimat "Halal" dengan bahasa arab dengan kaidah kaligrafi jenis kufi. Secara konstruksi kata, terdapat huruf "Ha", "Lam Alif" dan "Lam" kemudian dibentuk dalam gunungan (Gambar 1)

Gambar 1. Konstruksi Logo Halal (sumber gambar: dokumentasi pribadi)

    Inilah yang membuat masyarakat mempertanyakan, mengapa kata "Halal" dalam logo tersebut mesti dibentuk menyerupai gunungan dan terkesan berafiliasi dengan budaya tertentu, malah tidak ada nilai simbolis yang menggambarkan komitmen untuk menjalankan proses produksi halal.

    Menanggapi hal itu, dilansir dari Inilah.com, Kepala BPJPH Muhammad Aqil Ilham mengatakan bahwa logo baru memiliki nilai filosofi kebudayaan dengan menyeripakannya dengan gunungan pada wayang yang berbentuk limas dan melambangkan kehidupan manusia.


SUDUT PANDANG: MEMANGNYA KENAPA?

Kini masuk pada paragraf opini.

Pertama, inti dari keributan masyarakat adalah bentuk dari logo baru yang cenderung kental dengan kebudayaan tertentu. Sebetulnya sah-sah saja, tapi secara etis tidak ada makna simbolis yang menjelaskan bahwa logo itu merupakan simbol komitmen penjaminan produk halal. Malah jika ditarik lebih berat ke titik kebudayaan, maka jatuhnya makna simbolnya menjadi "Jawa Sentris" karena kebudayaan wayang itu lekat dan identik dengan budaya jawa. Bahkan tidak mewakilkan budaya Indonesia seara keseluruhan. Hal ini bisa memicu pertengkaran netizen di kolom komentar sosial media, hadeh..

Kedua, bisa kita lihat diantara logo halal di seluruh dunia (Gambar 2), kata yang berusaha ditampilkan adalah kata "Halal" tanpa ada modifikasi kaidah kaligrafi apapun meskipun sah-sah saja untuk estetika. Tetapi kata "Halal" ini seolah menjadi 'urf atau sesuatu yang sudah difahami oleh orang dimanapun. Ketika bentuknya diubah, ditambah dengan budaya, maka akan menimbulkan kerancuan.

 

Gambar 2. Logo Halal Dunia (sumber gambar: republika.co.id)

Ketiga, mari kita lihat dari sudut pandang konsumen. Di bangku kuliah, saya selalu diajarkan untuk menjadi pengguna/konsumen saat sedang melakukan pengembangan produk apapun, tujuannya agar ide yang kita tuangkan tidak subjektif, melainkan memenuhi kebutuhan pengguna/konsumen. Mari kita terapkan logika itu kepada produk baru berupa 'logo' ini. Andai saya sebagai seorang masyarakat yang tidak tahu menahu mengenai halal, saya belum bahkan tidak mengetahui informasi perubahan logo, atau bahkan baru menyadari ada logo halal ketika berita ini muncul. Ketika saya membeli produk kemudian saya melihat ada logo tersebut di kemasan, maka yang terlintas di fikiran saya

"Oh ini toh produsennya..eh tapi, kok ada halalnya ya?"

atau bahkan, jika saya seorang yang peduli terhadap isu halal dan belum mengetahui adanya perubahan ini, saya malah akan berfikir..

"Lho! Ini mana logo halalnya?"

Begitulah kiranya.

Selebihnya, saya tidak ada masalah personal dengan ide perubahan logo itu. Mungkin tujuannya untuk re-branding agar lebih segar, apalagi logo sebelumnya masih ada kalimat "Majelis Ulama Indonesia" dengan bahasa arab melingkar dengan cirikhas warna hijau, putih dan hitamnya. Tuh kan, sampe kebayang logonya.

Tibalah kita di puncak sudut pandang, intinya, kenapa logonya harus begitu?

Semoga mewakili pertanyaan netizen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar